"Bar madhang, ora udud? Eneg!"
["Habis makan nggak merokok? (rasanya) eneg!"]
Begitulah ujar seorang kawan saya yang perokok berat. Setiap sehabis makan, dia nggak bakalan ketinggalan menghisap 1 - 2 batang rokok. Kalau nggak ngerokok setelah makan tuh rasanya ada yang kurang, katanya.
"Mah, pang meulikeun udud!"
["Mah, tolong beliin rokok!"]
Saya kerap kali mendengar kalimat perintah seperti itu waktu tinggal di kontrakan Nenek, dulu. Paman sering sekali menyuruh istrinya membelikan rokok. Jika Bibi sedang repot memasak dll, maka beliau akan menyuruh anaknya yang kelas 1 SD untuk membeli rokok di warung sebelah. Miris lihatnya. Kecil-kecil sudah diajarin membeli rokok.
Masih banyak sekali kejadian-kejadian di sekitar lingkungan saya. Para tukang bangunan yang menggerutu jika tidak disediakan rokok, para pemuda yang sedang nongkrong di pinggir jalan, bahkan bapak saya sendiri juga dulunya adalah seorang perokok berat. Saya juga kerap kali mendapati anak-anak SMP menghisap rokok dengan bebasnya di jalanan. Rokok ini bagaikan kebutuhan primer (bagi pecandu) yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mereka akan melakukan apa saja untuk rokok. Bagi mereka lebih baik tidak makan daripada tidak merokok. Itulah. Jadi jika rokok dinaikkan harganya, ini bagaikan sisi mata pisau. Bisa menjai baik. tapi bisa juga berdampak buruk.
Lalu, kita sebagai perempuan, apakah akan diam saja? Enggak dong, ya. Saya yakin, banyak perempuan yang membenci rokok. Namun karena keterpaksaan, para perempuan itu hanya bisa pasrah.
Saya mau bercerita sedikit. Bapak saya dulu adalah seorang perokok berat sebelum akhirnya kena stroke. Setiap harinya, beliau bisa menghabiskan 1 - 2 bungkus rokok. Apa ibu saya tidak berusaha mencegah? Nggak, malah beliau yang menyediakan. Yaaa, mau gimana lagi, ibu dihadapkan pada kondisi serba salah. Kalau nggak dibeliin bapak akan marah-marah. Daripada ribut melulu, terpaksa lah ibu menyediakan rokok untuk bapak. Hingga akhirnya suatu hari bapak tiba-tiba terkena stroke. Beliau terbaring tak berdaya. Ibu lagi yang harus mengurusnya. Alhamdulillah dengan ijin Allah, bapak sembuh setelah 2 tahun, makan dan buang air di kasur.
YA! Rokok merusak badan. Perlahan menghancurkan diri perokok maupun orang di sekitarnya. Waktu saya kecil, ibu pernah menderita batuh menahun, telah menghabiskan obat berbotol-botol. Dan lagi-lagi Alhamdulillaah atas izi Allah, ibu bisa sembuh total.
Apakah mereka (pecandu rokok) tidak terpikirkan akan mendapatkan penyakit karena merokok terus menerus? Apakah mereka tidak memikirkan bahwa keluarga mereka akan terancam dengan penyakit juga? Ah, saya pun bingung sendiri dibuatnya.
Maka, ketika rokok telah menjadi candu, akan membuat pengeluaran belanja rumah tangga menjadi semakin besar. Bayangkan saja jika pengeluaran untuk rokok perhari 10.000 misalnya, sebulan 300.000, setahun 3.600.000. Ini minimalnya, kenyataannya akan lebih dari itu, bukan? Ngeri juga kalau menjumlahkan pengeluaran hanya untuk dibakar sia-sia.
Dalam rangkan kampanye pengendalian tembakau dan peran aktiv perempuan, Radio KBR mengadkan serial #RokokHarusMahal dalam Ruang Publik. Acara ini diadakan setiap Rabu pukul 09:00 - 10:00 WIB. Kita juga mendukung kampanye ini dengan mengisi petisi di change.com bahwa pemerintah harus membuat aturan harga rokok harus mahal, harga rokok 50.000 bahkan 100.000.
Di #RuangPubliKBR episode 2 Rabu lalu membahas tentang Perempuan, Puasa, dan Rokok Harus Mahal. Narasumbernya adalah Krisna Puji Rahmayanti ( Dosen Universitas Indonesia dan Komnas Pengendalian Tembakau) dan Tresia Mahaputri Nusantari Maghfirah, MARS, MPM (Koordinator Divisi Pelayanan Majelis Kesehatan Pimpinan Pusat Aisyiyah).
Perokok tidak hanya laki-laki, kini banyak saya jumpai perempuan yang merokok di tempat umum. Pelajar SMP SMU juga dengan santainya merokok di tempat umum.
Apakah ini akibat rokok bisa dibeli semua kalangan? Bisa jadi. Rokok di Indonesia dijual dengan harga yang murah. Berbeda dengan di Singapura, rokok mahal bea cukainya mahal, jadi yang bisa membeli rokok hanya kalangan tertentu saja.
Berbeda dengan di Indonesia. Ya sudah dijual murah, bisa dibeli perbatang/ketengan pula. Maka tak heran anak SMP pun sudah bisa membeli rokok dari uang jajan mereka. Masyarakat menengah ke bawah juga dengan mudah membeli rokok.
Ini juga berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang tidak tegas. Harusnya ada larangan batasan usia yang boleh memberi rokok, seperti di Singapura.
Ibu Tresia mengatakan bahwa : sebaiknya moment Ramadhan ini bisa menjadi awal untuk menurunkan konsumsi rokok. Secara siang harinya kan berpuasa. Dari pwngurangan jumlah rokok yang dibakar, setelah Ramdhan semoga tidak kembali lagi kepada kebiasaan semula. Syukur-syukur jika bisa berhenti.
Kita sebagai perempuan (anak, istri, kaka, adik, dll) juga bisa membantu keluarga kita untuk mulai berhenti merokok. Sebagai istri, kita bisa mengatur/mengalokasikan konsumsi rokok untuk kebutuhan gizi keluarga. Maka saya bersyukur sekali mendapatkan pasangan yang tidak merokok. Jika orang lain menganggarkan sebagian pendapatan untuk rokok, suami saya menggunakannya untuk menabung atau mencukupi kebutuhan anak-anak dan istrinya.
Oiya, bagi para blogger, acara #RuangPubliKBR ini ada lomba menulisnya, lho. Akan ada hadiah 1,2 juta rupiah untuk 3 pemenang setiap minggunya. Serta di akhir semua episode akan ada grandprize sebesar 17 juta rupiah.
Dengarkan obrolannya di radio-radio jaringan KBR di Nusantara. Di Jakarta bisa didengar di @powerfm892 . Bisa juga Streaming KBR.id / KBR apps atau ditoton di LIVE FB Kantor Berita Radio KBR.
Catat ya tanggal talkshow lengkapnya.
PUKUL : 09.00-10.00 WIB
1. Jumat, 11 Mei 2018 ;
2. Rabu, 16 Mei 2018;
3. Rabu, 30 Mei 2018;
4. Rabu, 6 Juni 2018;
5. Rabu, 20 Juni 2018;
6. Rabu, 11 Juli 2018;
7. Rabu, 25 Juli 2018;
8. Rabu, 15 Agustus 2018
Syarat dan ketentuan lomba selengkapnya ada di sini ya -- http://bit.ly/2InVIgZ
["Habis makan nggak merokok? (rasanya) eneg!"]
Begitulah ujar seorang kawan saya yang perokok berat. Setiap sehabis makan, dia nggak bakalan ketinggalan menghisap 1 - 2 batang rokok. Kalau nggak ngerokok setelah makan tuh rasanya ada yang kurang, katanya.
"Mah, pang meulikeun udud!"
["Mah, tolong beliin rokok!"]
Saya kerap kali mendengar kalimat perintah seperti itu waktu tinggal di kontrakan Nenek, dulu. Paman sering sekali menyuruh istrinya membelikan rokok. Jika Bibi sedang repot memasak dll, maka beliau akan menyuruh anaknya yang kelas 1 SD untuk membeli rokok di warung sebelah. Miris lihatnya. Kecil-kecil sudah diajarin membeli rokok.
Masih banyak sekali kejadian-kejadian di sekitar lingkungan saya. Para tukang bangunan yang menggerutu jika tidak disediakan rokok, para pemuda yang sedang nongkrong di pinggir jalan, bahkan bapak saya sendiri juga dulunya adalah seorang perokok berat. Saya juga kerap kali mendapati anak-anak SMP menghisap rokok dengan bebasnya di jalanan. Rokok ini bagaikan kebutuhan primer (bagi pecandu) yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mereka akan melakukan apa saja untuk rokok. Bagi mereka lebih baik tidak makan daripada tidak merokok. Itulah. Jadi jika rokok dinaikkan harganya, ini bagaikan sisi mata pisau. Bisa menjai baik. tapi bisa juga berdampak buruk.
Lalu, kita sebagai perempuan, apakah akan diam saja? Enggak dong, ya. Saya yakin, banyak perempuan yang membenci rokok. Namun karena keterpaksaan, para perempuan itu hanya bisa pasrah.
Saya mau bercerita sedikit. Bapak saya dulu adalah seorang perokok berat sebelum akhirnya kena stroke. Setiap harinya, beliau bisa menghabiskan 1 - 2 bungkus rokok. Apa ibu saya tidak berusaha mencegah? Nggak, malah beliau yang menyediakan. Yaaa, mau gimana lagi, ibu dihadapkan pada kondisi serba salah. Kalau nggak dibeliin bapak akan marah-marah. Daripada ribut melulu, terpaksa lah ibu menyediakan rokok untuk bapak. Hingga akhirnya suatu hari bapak tiba-tiba terkena stroke. Beliau terbaring tak berdaya. Ibu lagi yang harus mengurusnya. Alhamdulillah dengan ijin Allah, bapak sembuh setelah 2 tahun, makan dan buang air di kasur.
YA! Rokok merusak badan. Perlahan menghancurkan diri perokok maupun orang di sekitarnya. Waktu saya kecil, ibu pernah menderita batuh menahun, telah menghabiskan obat berbotol-botol. Dan lagi-lagi Alhamdulillaah atas izi Allah, ibu bisa sembuh total.
Apakah mereka (pecandu rokok) tidak terpikirkan akan mendapatkan penyakit karena merokok terus menerus? Apakah mereka tidak memikirkan bahwa keluarga mereka akan terancam dengan penyakit juga? Ah, saya pun bingung sendiri dibuatnya.
Maka, ketika rokok telah menjadi candu, akan membuat pengeluaran belanja rumah tangga menjadi semakin besar. Bayangkan saja jika pengeluaran untuk rokok perhari 10.000 misalnya, sebulan 300.000, setahun 3.600.000. Ini minimalnya, kenyataannya akan lebih dari itu, bukan? Ngeri juga kalau menjumlahkan pengeluaran hanya untuk dibakar sia-sia.
Dalam rangkan kampanye pengendalian tembakau dan peran aktiv perempuan, Radio KBR mengadkan serial #RokokHarusMahal dalam Ruang Publik. Acara ini diadakan setiap Rabu pukul 09:00 - 10:00 WIB. Kita juga mendukung kampanye ini dengan mengisi petisi di change.com bahwa pemerintah harus membuat aturan harga rokok harus mahal, harga rokok 50.000 bahkan 100.000.
Di #RuangPubliKBR episode 2 Rabu lalu membahas tentang Perempuan, Puasa, dan Rokok Harus Mahal. Narasumbernya adalah Krisna Puji Rahmayanti ( Dosen Universitas Indonesia dan Komnas Pengendalian Tembakau) dan Tresia Mahaputri Nusantari Maghfirah, MARS, MPM (Koordinator Divisi Pelayanan Majelis Kesehatan Pimpinan Pusat Aisyiyah).
Perokok tidak hanya laki-laki, kini banyak saya jumpai perempuan yang merokok di tempat umum. Pelajar SMP SMU juga dengan santainya merokok di tempat umum.
Apakah ini akibat rokok bisa dibeli semua kalangan? Bisa jadi. Rokok di Indonesia dijual dengan harga yang murah. Berbeda dengan di Singapura, rokok mahal bea cukainya mahal, jadi yang bisa membeli rokok hanya kalangan tertentu saja.
Berbeda dengan di Indonesia. Ya sudah dijual murah, bisa dibeli perbatang/ketengan pula. Maka tak heran anak SMP pun sudah bisa membeli rokok dari uang jajan mereka. Masyarakat menengah ke bawah juga dengan mudah membeli rokok.
Ini juga berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang tidak tegas. Harusnya ada larangan batasan usia yang boleh memberi rokok, seperti di Singapura.
Ibu Tresia mengatakan bahwa : sebaiknya moment Ramadhan ini bisa menjadi awal untuk menurunkan konsumsi rokok. Secara siang harinya kan berpuasa. Dari pwngurangan jumlah rokok yang dibakar, setelah Ramdhan semoga tidak kembali lagi kepada kebiasaan semula. Syukur-syukur jika bisa berhenti.
Kita sebagai perempuan (anak, istri, kaka, adik, dll) juga bisa membantu keluarga kita untuk mulai berhenti merokok. Sebagai istri, kita bisa mengatur/mengalokasikan konsumsi rokok untuk kebutuhan gizi keluarga. Maka saya bersyukur sekali mendapatkan pasangan yang tidak merokok. Jika orang lain menganggarkan sebagian pendapatan untuk rokok, suami saya menggunakannya untuk menabung atau mencukupi kebutuhan anak-anak dan istrinya.
Oiya, bagi para blogger, acara #RuangPubliKBR ini ada lomba menulisnya, lho. Akan ada hadiah 1,2 juta rupiah untuk 3 pemenang setiap minggunya. Serta di akhir semua episode akan ada grandprize sebesar 17 juta rupiah.
Dengarkan obrolannya di radio-radio jaringan KBR di Nusantara. Di Jakarta bisa didengar di @powerfm892 . Bisa juga Streaming KBR.id / KBR apps atau ditoton di LIVE FB Kantor Berita Radio KBR.
Catat ya tanggal talkshow lengkapnya.
PUKUL : 09.00-10.00 WIB
1. Jumat, 11 Mei 2018 ;
2. Rabu, 16 Mei 2018;
3. Rabu, 30 Mei 2018;
4. Rabu, 6 Juni 2018;
5. Rabu, 20 Juni 2018;
6. Rabu, 11 Juli 2018;
7. Rabu, 25 Juli 2018;
8. Rabu, 15 Agustus 2018
Syarat dan ketentuan lomba selengkapnya ada di sini ya -- http://bit.ly/2InVIgZ
Saya setuju harga rokok harus mahal, hanya mereka yang benar-benar kuat saja yang boleh membelinya mengingat bahaya merokok 🚬 sangat besar, baik bagi si perokok itu sendiri maupun buat orang-orang disekelilingnya.
ReplyDeletekalau mereka mau mendengar sedikit fatwa beberapa ulama bahwa rokok itu haram
ReplyDeleteiya setuju banget kalau harga rokok harus mahal. semoga terealisasi yaaa
ReplyDeleteRokok ini memang terjangkau harnganya, mirisnya yang beli itu pelajar bahkan anak di bawah umur. Kalau rokok mahal mungkin orang akan lebih berpikir 2 x untuk beli.
ReplyDeleteKalo puasa pasti bisa mengurangi rokok tapi bagaimana setelah bulan puasa, pasti ngebul lagi kayanya... hahah
ReplyDeletesemoga beneran mahal hehehe
ReplyDelete